Di bulan-bulan mulainya tahun ajaran baru, para orang tua disibukkan dengan pendaftaran anak-anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Semakin tahun, semakin tinggi input masing-masing sekolah untuk penerimaan siswa barunya, terutama sekolah-sekolah negeri. Namun, ada lagi pilihan yang banyak dibicarakan para orang tua—sebagai alternatif—untuk menyekolahkan anak-anaknya, yaitu sekolah-sekolah yang menyediakan kelas berstandar internasional yang biasa disebut sekolah berstandar internasional (SBI) yang saya rasa ada banyak sekali hal yang belum mapan dalam pengadaan SBI di Indonesia, salah satunya ialah kurikulum yang mislead dan lebih seperti penyortiran antar golongan masyarakat dalam lingkup pendidikan.

Di kota Malang ini terdapat banyak sekali SBI yang menawarkan kelas dengan standar internasional, dan saya yakin sekolah-sekolah serupa juga banyak bermunculan di kota-kota lain di Indonesia, baik negeri maupun swasta. Stereotip sekolah berstandar internasional selalu lekat dengan sistem pengajaran yang menggunakan dua bahasa, bahasa Inggris dan Indonesia, kelengkapan sarana pembelajaran juga dianggap memiliki standar internasional. Namun, bukan hanya itu, beberapa sekolah memiliki kerjasama dengan salah satu dari negara-negara yang telah mendapat akreditasi internasional sebagai penyelenggara pendidikan yang baik seperti Jerman, Singapura, Turki, Inggris Australia, dll. Sekolah-sekolah yang berlabel berstandar internasional tersebut juga melakukan sistem seleksi yang sangat ketat, seperti adanya tes TOEFL dan wawancara dalam penerimaan siswa barunya.

Penyelenggaraan pendidikan di beberapa SBI menggunakan kurikulum ganda, yaitu kurikulum nasional yang berlaku untuk semua sekolah di Indonesia dan tambahan kurikulum asing, seperti Cambridge, yang biasanya lazim digunakan oleh SBI swasta dan tidak menutup kemungkinan, SBI negeri pun memberlakukan hal yang sama. SBI mengikuti kurikulum nasional hanya untuk mengikuti ujian yang diselenggarakan negara seperti UAS dan UAN, selebihnya beberapa SBI menggunakan kurikulum salah satu negara yang memiliki akreditasi internasional yang baik dalam bidang pendidikan. Bagaimanapun, kurikulum ganda ini membuat tujuan pengadaan pendidikan di negara kita menjadi kacau. Bagaimana tidak, saya rasa sistem yang demikian malah akan membuat para murid seperti tersengal-sengal dalam mengikuti pelajaran, mungkin ini tidak berlaku pada semua murid, karena mereka yang lolos seleksi masuk SBI tentu saja mereka yang memiliki kemampuan di atas rata-rata (semoga saja memang demikian halnya). Dalam hal ini, saya melihatnya hanya sebagai bentuk euforia kita akan sesuatu yang berasal dari Barat adalah yang terbaik dan monopoli superioritas orang-orang Barat bahwa orang-orang di negara-negara Dunia Ketiga harus manut dengan mereka. Serta, bukankah ini sebagai suatu sindiran untuk pemerintah bahwa kurikulum nasional dinilai tidak lebih baik dari kurikulum asing?

Bagaimanapun, bagian terburuknya adalah jika ada—dan memang ada—sekolah mendeklarasikan diri sebagai SBI  dan ternyata hanya bermodalkan penterjemahan pengajaran dan textbook ke bahasa Inggris untuk beberapa mata pelajaran di bidang sains. Lagipula, sudahkah bapak dan ibu guru kita siap dan benar-benar mengerti segala hal yang berkaitan dengan SBI, yang saya rasa semua orang juga telah mislead, karena tidak ada dasar dan panduan yang jelas tentang SBI? Meski ada undang-undang untuk pengadaan pendidikan bertaraf internasional, tidak ada penjelasan secara mendetil tentang ini.

Pada kondisi di lapangan, pengadaan sarana pendidikan yang sesuai dengan standar internasional tentu saja memaksa para orang tua harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mengirim anak-anaknya untuk bersekolah di SBI (sementara, adakah standar internasional untuk sebuah laboratorium sains dan bahasa? Ruang multimedia? Adakah tes standardisasi secara internasional untuk bidang sains seperti halnya TOEFL untuk bahasa Inggris?). Praktis tidak semua kalangan dapat menjangkau SBI. Uang masuk yang hingga belasan juta dan SPP jutaan rupiah harus dikeluarkan oleh para orang tua. Memang ada beberapa SBI yang dapat dijangkau dengan biaya yang murah, kebanyakan SBI yang seperti ini memiliki asrama dan mereka tidak memungut biaya dengan jumlah besar, di Malang seperti SMA Negeri 10, tapi jumlahnya secara nasional dapat dihitung dengan jari. Dengan pertimbangan biaya yang demikian mahalnya, tentu saja para murid yang bersekolah di SBI diharapkan mampu membeli pendidikan dengan taraf internasional. Pada kenyataannya, ada berapa orang tua yang mampu menyekolahkan anak-anaknya di SBI? Tidak semua orang tua dapat menjangkau pendidikan yang demikian mahalnya.

Jika yang menjadi tujuan didirikannya SBI adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan bagi rakyat Indonesia, namun melihat kenyataannya hanya beberapa gelintir anak saja yang dapat mewujudkan mimpinya untuk mengenyam pendidikan sebaik-baiknya, maka rakyat yang mana yang pemerintah maksud yang akan ditingkatkan kualitas pendidikannya? Kualitas pendidikan suatu negara tidak dinilai dengan prestasi beberapa gelintir siswa saja, namun prestasi peserta didik secara keseluruhan.

Kesenjangan pendidikan antara satu wilayah dengan wilayah lain di Indonesia belum lagi selesai, sekarang ditambah lagi dengan kesenjanagn untuk memperoleh pendidikan dengan sebaik-baiknya. Apakah hanya orang kaya saja yang boleh mendapatkan pendidikan dengan kualitas terbaik?
(tulisan ini juga dimuat di Harian Surya, Rabu 24 Februari, 2010 dengan judul Euforia Sekolah Mahal)